UTANG, MIGAS, DAN RAKYAT

Penurunan harga minyak mentah dunia dalam beberapa bulan terakhir telah memaksa pemerintah Indonesia menurunkan harga BBM bersubsidi pada 1 Desember 2008. Penurunan ini ternyata tidak berdampak langsung terhadap turunnya komoditas pokok yang sangat dibutuhkan rakyat. Berbeda sekali jika terjadi kenaikan harga BBM, seluruh komoditas begitu cepat menyesuaikan. Bila kondisinya seperti ini maka bagi rakyat tidak ada bedanya kenaikan dan penurunan harga BBM ini. Tulisan ini merupakan refleksi fenomena BBM dari perspektif ekonomi dan keuangan.

KENAIKAN dan penurunan harga suatu komoditas dalam mekanisme ekonomi pasar adalah hal yang biasa terjadi. Hanya, bila komoditas yang dimaksud adalah BBM selalu saja mengundang pro dan kontra, bahkan syarat muatan historis dan politis. Hal ini bisa dimaklumi karena BBM merupakan komoditas yang vital dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Pemerintah diberi kewajiban oleh konstitusi untuk menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM kepada rakyat. Jadi, rakyatlah pemilik (principal) sesungguhnya atas kekayaan yang ada di perut bumi Indonesia, sedangkan pemerintah adalah agen yang “disewa” rakyat untuk mengelola kekayaan tersebut dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran pemiliknya. Dari sisi ini, sang agen di masa lalu mendefinisikan salah satu kemakmurannya dengan menyediakan BBM untuk rakyat dengan harga yang sangat murah. Hanya, harga tersebut sesungguhnya harga yang semu karena tidak mencerminkan biaya produksi yang efisien. Kenapa bisa demikian? Karena harga yang dinikmati telah mengandung unsur subsidi di dalamnya. Lalu, salahkah subsidi itu? Tentu saja tidak, sepanjang dinikmati oleh yang berhak dan jangan lupa pula subsidi yang diterima rakyat bukanlah korupsi.

Hanya, dalam konteks ekonomi pasar, subsidi dianggap barang haram yang tidak boleh ada. Harga yang ditetapkan harus mengikuti mekanisme pasar. Ironisnya, pasar akan berpihak kepada negara yang punya kemampuan kapital besar, dan negara yang dimaksud bukanlah Indonesia. Secara implisit, harga pasar yang terbentuk pun akan berpihak kepada yang kuat dan merugikan yang lemah.

Di sisi lain, puluhan tahun rakyat Indonesia menikmati BBM murah yang bukan karena proses produksinya yang efisien dan rakyat kebanyakan (mungkin) tidak tahu atau sebagian tidak mau tahu, pokoknya harus murah. Di sinilah kesalahan fatal pemerintah sebagai agen, rakyat tidak didewasakan dan disiapkan untuk mengantisipasi perubahan di masa datang. Sehingga ketika ekonomi pasar “terpaksa” diberlakukan di Indonesia sebagai konsekuensi dari globalisasi ekonomi, rakyat tidak siap.

Lalu kenapa harus terpaksa? Jawabnya tidak ada pilihan lain harus menerima “keinginan” pihak yang telah lama memberi “bantuan” dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Siapakah mereka? Tidak lain adalah pihak asing yang sekarang menguasai ekonomi bangsa ini dan mengambil keuntungan di negeri ini, kemudian membawanya ke negara asalnya. Sementara sebagian besar rakyat hanya menjadi penonton dan kemakmuran yang didambakan hanya sekadar impian. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabnya Indonesia telah terperangkap jebakan utang!

Utang dan migas

Negara sesungguhnya tidak berbeda dengan organisasi atau perusahaan yang harus dikelola dengan menggunakan manajemen yang baik untuk mencapai tujuan. Apa yang menjadi tujuan dengan jelas telah dinyatakan dalam konstitusi yaitu memakmurkan rakyat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut tentunya diperlukan berbagai sumber daya untuk diolah menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah.

Indonesia diberkahi sebagai negara yang kekayaan alamnya begitu melimpah, tetapi sayangnya tak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelolanya. Salah satu kendala utamanya adalah terbatasnya kapital yang dimiliki, sedangkan kendala yang lain menyangkut skill dan teknologi. Kondisi ini menjadikan sang agen melirik dunia luar dan dimulailah babak baru dengan masuknya pengaruh kapitalis liberal di era 1967 dan berlangsung sampai sekarang.

Di masa lalu masyarakat telah akrab dengan istilah “bantuan luar negeri” yang sesungguhnya bahasa halus dari “utang”. Tentu pertanyaan kita apakah negara luar begitu baiknya memberikan bantuan kepada kita? Tentu saja tidak! Dalam hukum ekonomi tidak ada sesuatu yang bisa diperoleh dengan cuma-cuma, harus ada pengorbanan. Fakta telah membuktikan ternyata sebagian besar bantuan yang diberikan tersebut memiliki persyaratan tertentu. Apa itu? Turut mengelola sumber daya alam yang kita miliki, bisa dalam bentuk kontrak karya ataupun bentuk lainnya. Lantas sumber daya manakah yang mereka pilih? Tentunya adalah sumber daya yang memiliki potensi uang yang besar. Salah satunya adalah minyak dan gas (migas) yang sebenarnya diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat.

Dengan kata lain, semakin banyak utang yang masuk maka semakin banyak sumber daya migas yang dikelola negara pemberi utang. Hebatnya, jangka waktu utang dan kontrak karya sangat panjang, umumnya lebih dari sepuluh tahun dan bisa diperpanjang. Pembiayaan pembangunan dengan utang terus berlangsung dan tidak sadar akan risikonya. Barulah kita sadar betapa bahayanya utang setelah krisis ekonomi terjadi tahun 1997 dan krisis global saat ini. Utang tetap utang, tentunya harus dibayar dan ketahuilah bahwa salah satu andalan untuk membayar utang tersebut adalah migas!

Beban rakyat

Sebenarnya tidak ada masalah dengan utang yang banyak, sepanjang persyaratan yang harus dipenuhi tidak memberatkan dan digunakan untuk kepentingan investasi yang tepat serta memberikan keuntungan. Hal yang sama tidak ada masalah untuk kontrak karya sepanjang proporsinya masuk akal dan menguntungkan rakyat atau tujuannya untuk alih pengetahuan dan teknologi untuk sementara waktu.

Namun, yang terjadi tidaklah seperti itu. Fakta membuktikan bahwa utang yang masuk (dengan persyaratan berat) seharusnya untuk investasi, tetapi sebagian (mungkin besar) digunakan untuk tindakan oportunistis dan tidak produktif. Kontrak-kontrak karya yang ada berubah menjadi eksploitasi sumber migas oleh perusahaan asing (Kwik Kian Gie menyebutnya The Seven Sisters). Jumlahnya sangat fantastis, 92% dan hanya 8% yang dieksplorasi dan dieksploitasi oleh Indonesia sendiri. Tentu secara ekstrem kita bisa menghitung sebanyak itulah migas yang diambil dari perut bumi Indonesia dialihkan ke negara asalnya sebagai cadangan minyak dan dijual ke pasar internasional bila ada potensi keuntungan. Sebaliknya dengan Indonesia, kemampuan produksi tetap saja masih terbatas dan terpaksa mengimpor dengan harga pasar yang berlaku.

Hal ini tentu aneh karena kita sesungguhnya negara penghasil minyak yang tergabung dalam organisasi OPEC. Untuk melakukan impor tersebut, pemerintah harus mengeluarkan biaya yang besar. Lalu siapa yang menanggung biaya ini? Jawabnya tentu sang pemilik yaitu rakyat. Kenapa bisa demikian? Karena dana yang digunakan untuk melakukan impor tadi sebagian besar adalah utang yang pada akhirnya rakyatlah yang harus membayar. Sungguh sangat ironis, rakyat selalu dirugikan dalam kondisi harga BBM naik dan tidak pula diuntungkan saat harga BBM turun. Jadi, siapa yang menikmati keuntungan? Jawabnya adalah pihak asing dan sebagian agen yang bertindak oportunistis.

Apa yang harus dilakukan?

Refleksi di atas adalah sejarah perjalanan bangsa yang harus membuat kita sadar dan segera melakukan perubahan ke arah perbaikan. Tidak fair pula bila segala keruwetan ekonomi warisan masa lalu ditimpakan kepada pemerintah saat ini. Bahkan, kita perlu menyambut baik agen yang berkuasa saat ini, setidaknya dalam 4 hal, yaitu 1) Menyadari semakin tipisnya cadangan migas maka digalakkan kembali upaya penyediaan energi alternatif, misalnya biodiesel; 2) Pemberian punishment kepada agen yang bertindak oportunistis; 3) Ada upaya peninjauan kontrak karya yang merugikan Indonesia; dan 4) Keberanian keluar dari lembaga keuangan internasional yang berpotensi memberikan jebakan utang.

Di sisi lain, rakyat juga harus belajar dari negara lain yang mampu mengelola migas dengan baik. Pelajaran yang dipetik adalah penghematan konsumsi BBM. Asal kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang konsumsi BBM-nya melebihi kemampuan produksinya. Jadi, defisit BBM akan selalu terjadi bila kita tidak melakukan penghematan. Kita dorong pemerintah (c.q. Pertamina) untuk meningkatkan produksinya. Bagaimana SDM-nya? Tak perlu pula kita khawatir, banyak “anak bangsa” yang hebat di sini dan tak sedikit yang “dipakai” negara asing. Ketuk nurani nasionalismenya, panggil mereka pulang, beri kesempatan untuk membuktikan karyanya dan beri reward yang memadai.

Kita tak perlu juga mempersoalkan lagi siapa yang paling memboroskan BBM tersebut, karena kita sudah tahu bukanlah rakyat kebanyakan. Marilah kita berpikir positif, pemerintah sekarang pasti memikirkan yang terbaik untuk rakyat karena mereka pun asalnya dari rakyat. Hal ini kita anggap cobaan bangsa yang harus dilalui menuju cita-cita luhurnya. Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya. Insya Allah berhasil. (Tendi Haruman, pengurus ISEI Cabang Bandung, dosen Magister Manajemen Universitas Widyatama) ***